Feeds:
Posts
Comments

MENDEWASAKAN PESERTA DIDIK MELALUI PEMBELAJARAN HUMANISME

 

I. Pendahuluan

Menurut Jose Ortega Y Gasset [1883-1955] filsuf asal spanyol, : “Dunia adalah dunia dalam keakrabannya dengan sang aku. Dunia adalah dunia yang memperoleh makna dalam kesejarahan manusia”. Dalam pengertian sempit manusia hidup dalam dunianya masing- masing, memiliki konsen tersendiri serta dapat membentuk komunitas apabila tiap konsen yang sama di satukan.   Makna dari pendapat Ortega bahwa aku adalah  manusia dan selalu berhubungan dengan dunia nya, artinya manusia selama hidup selalu mengalami proses “mendewasakan sang aku”.   Entah dalam prosesnya mengalami hal yang positif dan hal yang negatif, pasti selalu memperoleh hubungan sebab-akibat dalam kehidupannya.  Baik buah yang positif atau mungkin malah mendapatkan hal yang negatif.  Sehingga untuk mendewasakan sang aku diperlukan   “pendidikan”.  Proses dalam pendidikan diharapkan dapat (a) mengoptimalkan potensi bawaan kemanusiaan, (b) nila-nilai hidup, (c) meningkatkan ketrampilan dan science dan (d) membantu memecahkan masalahnya.

Peran institusi pendidikan dalam mendewasakan sang aku, adalah merencanakan, melaksanakan dan memonitor manajemen pendidikan yang berfokus pada pengembangan potensi peserta didik.  Kunci sukses pengembangan potensi peserta didik ini terletak pada pendidik (staf pengajar) yang berkomitmen, handal dan berdedikasi dalam pengembangan potensi peserta didik.

Pendidik adalah seorang fasilitator. Fasilitator baik dalam aspek kognitif, afektif, psikomotorik, maupun konatif. Seorang pendidik hendaknya mampu membangun suasana belajar yang kondusif untuk belajar-mandiri (self-directed learning) dan mampu menjadikan proses pembelajaran sebagai kegiatan eksplorasi diri.  Galileo menegaskan bahwa sebenarnya kita tidak dapat mengajarkan apapun, kita hanya dapat membantu peserta didik untuk menemukan dirinya dan mengaktualisasikan dirinya. Setiap pribadi manusia memiliki “self-hidden potential excellece” (mutiara talenta yang tersembunyi di dalam diri).

Tugas pendidikan yang sejati adalah membantu peserta didik untuk menemukan dan mengembangkannya seoptimal mungkin.   Seorang pendidik yang efektif, tidak hanya efektif dalam kegiatan belajar mengajar di kelas saja (transfer of knowledge), tetapi lebih-lebih dalam relasi pribadinya dan “modeling”nya (transfer of attitude and values), baik kepada peserta didik maupun kepada seluruh anggota komunitas sekolah. Pendidikan yang humanis menekankan bahwa pendidikan pertama-tama dan yang utama adalah bagaimana menjalin komunikasi dan relasi personal antara pribadi-pribadi dan antar pribadi dan kelompok di dalam komunitas sekolah. Relasi ini berkembang dengan pesat dan menghasilkan buah-buah pendidikan jika dilandasi oleh cinta-kasih antar mereka. Pribadi-pribadi hanya berkembang secara optimal dan relatif tanpa hambatan jika berada dalam suasana yang penuh kasih (unconditional love), hati yang penuh pengertian (understanding heart) serta relasi pribadi yang efektif (personal relationship). Dalam mendidik seseorang kita hendaknya mampu menerima diri sebagaimana adanya dan kemudian mengungkapkannya secara jujur (modeling). Mendidik tidak sekedar mentransfer ilmu pengetahuan, melatih keterampilan verbal kepada para peserta didik, namun merupakan bantuan agar peserta didik dapat menumbuhkembangkan dirinya secara optimal.

Mendidik yang efektif pada dasarnya merupakan kemampun seseorang menghadirkan diri sedemikian sehingga pendidik memiliki relasi bermakna pendidikan dengan para peserta didik sehingga mereka mampu menumbuhkembangkan dirinya menjadi pribadi dewasa dan matang. Pendidikan yang efektif adalah yang berpusat pada peserta didik atau pendidikan BAGI peserta didik. Dasar pendidikannya adalah apa yang menjadi “dunia”, minat, dan kebutuhan-kebutuhan peserta didik. Pendidik membantu peserta didik untuk menemukan, mengembangkan dan mencoba mempraktikkan kemampuan-kemampuan yang mereka miliki (the learners-centered teaching). Ciri utama pendidikan yang berpusat pada peserta didik adalah bahwa pendidik menghormati, menghargai dan menerima peserta didik sebagaimana adanya. Komunikasi dan relasi yang efektif sangat diperlukan dalam model pendidikan yang berpusat pada peserta didik, sebab hanya dalam suasana relasi dan komunikasi yang efektif, peserta didik akan dapat mengeksplorasi dirinya, mengembangkan dirinya dan kemudian mem- “fungsi” -kan dirinya di dalam masyarakat secara optimal.

Tujuan sejati dari pendidikan seharusnya adalah pertumbuhan dan perkembangan diri peserta didik secara utuh sehingga mereka menjadi pribadi dewasa yang matang dan mapan, mampu menghadapi berbagai masalah dan konflik dalam kehidupan sehari-hari. Agar tujuan ini dapat tercapai maka diperlukan sistem pembelajaran dan pendidikan yang humanis serta mengembangkan cara berpikir aktif-positif dan keterampilan yang memadai (income generating skills). Pendidikan dan pembelajaran yang bersifat aktif-positif dan berdasarkan pada minat dan kebutuhan peserta didik sangat penting untuk memperoleh kemajuan baik dalam bidang intelektual, emosi/perasaan (EQ), afeksi maupun keterampilan yang berguna untuk hidup praktis.          Tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah mendewasakan manusia. Pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi-pribadi yang lebih bermanusiawi (semakin “penuh” sebagai manusia), berguna dan berpengaruh di dalam masyarakatnya, yang bertanggungjawab dan bersifat proaktif dan kooperatif. Masyarakat membutuhkan pribadi-pribadi yang handal dalam bidang akademis, keterampilan atau keahlian dan sekaligus memiliki watak atau keutamaan yang luhur. Singkatnya pribadi yang cerdas, berkeahlian, namun tetap humanis.

 

II.  Pengembangan Manusia

Manusia sebagai makhluk Tuhan adalah makhluk pribadi sekaligus makhluk sosial, susila, dan religius. Sifat kodrati manusia sebagai makhluk pribadi, sosial, susila, dan religii harus dikembangkan secara seimbang, selaras, dan serasi. Perlu disadari bahwa manusia hanya mempunyai arti dalam kaitannya dengan manusia lain dalam masyarakat. Manusia mempunyai arti hidup secara layak jika ada diantara manusia lainnya. Tanpa ada manusia lain atau tanpa hidup bermasyarakat, seseorang tidak dapat menjalani hidupnya dengan baik.  Guna meningkatkan kualitas hidup, manusia memerlukan pendidikan, baik pendidikan yang formal, informal maupun nonformal. Kenyataannya, manusia menunjukkan bahwa pendidikan merupakan pembimbingan diri sudah berlangsung sejak zaman primitif. Kegiatan pendidikan terjadi dalam hubungan orang tua dan anak.

 

2.1  Pengembangan Manusia Sebagai Makhluk Individu

Sebagai makhluk individu yang menjadi satuan terkecil dalam suatu organisasi atau kelompok, manusia harus memiliki kesadaran diri yang dimulai dari kesadaran pribadi di antara segala kesadaran terhadap segala sesuatu. Kesadaran diri tersebut meliputi kesadaran diri di antara realita, self-respect, self-narcisme, egoisme, martabat kepribadian, perbedaan dan persamaan dengan pribadi lain, khususnya kesadaran akan potensi-potensi pribadi yang menjadi dasar bagi self-realisation.

Sebagai makhluk individu, manusia memerlukan pola tingkah laku yang bukan merupakan tindakan instingtif belaka. Manusia yang biasa dikenal dengan Homo sapiens memiliki akal pikiran yang dapat digunakan untuk berpikir dan berlaku bijaksana. Dengan akal tersebut, manusia dapat mengembangkan potensi-potensi yang ada di dalam dirinya seperti, karya, cipta, dan karsa. Dengan pengembangan potensi-potensi yang ada, manusia mampu mengembangkan dirinya sebagai manusia seutuhnya yaitu makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna.

Perkembangan manusia secara perorangan pun melalui tahap-tahap yang memakan waktu puluhan atau bahakan belasan tahun untuk menjadi dewasa. Upaya pendidikan dalam menjadikan manusia semakin berkembang. Perkembangan keindividualan memungkinkan seseorang untuk mengembangkan setiap potensi yang ada pada dirinya secara optimal.

Sebagai makhluk individu manusia mempunyai suatu potensi yang akan berkembang jika disertai dengan pendidikan. Melalui pendidikan, manusia dapat menggali dan mengoptimalkan segala potensi yang ada pada dirinya. Melalui pendidikan pula manusia dapat mengembangkan ide-ide yang ada dalam pikirannya dan menerapkannya dalam kehidupannya sehari-hari yang dapat meningkatkan kualitas hidup manusia itu sendiri.

 

2.2  Pengembangan Manusia Sebagai Makhluk Sosial

Di dalam kehidupannya, manusia tidak hidup dalam kesendirian. Manusia memiliki keinginan untuk bersosialisasi dengan sesamanya. Ini merupakan salah satu kodrat manusia adalah selalu ingin berhubungan dengan manusia lain. Hal ini menunjukkan kondisi yang interdependensi. Di dalam kehidupan manusia selanjutnya, ia selalu hidup sebagai warga suatu kesatuan hidup, warga masyarakat, dan warga negara. Hidup dalam hubungan antaraksi dan interdependensi itu mengandung konsekuensi-konsekuensi sosial baik dalam arti positif maupun negatif. Keadaan positif dan negatif ini adalah perwujudan dari nilai-nilai sekaligus watak manusia bahkan pertentangan yang diakibatkan oleh interaksi antarindividu. Tiap-tiap pribadi harus rela mengorbankan hak-hak pribadi demi kepentingan bersama Dalam rangka ini dikembangkanlah perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan. Pada zaman modern seperti saat ini manusia memerlukan pakaian yang tidak mungkin dibuat sendiri.  Tidak hanya terbatas pada segi badaniah saja, manusia juga mempunyai perasaaan emosional yang ingin diungkapkan kepada orang lain dan mendapat tanggapan emosional dari orang lain pula. Manusia memerlukan pengertian, kasih sayang, harga diri pengakuan, dan berbagai rasa emosional lainnya. Tanggapan emosional tersebut hanya dapat diperoleh apabila manusia berhubungan dan berinteraksi dengan orang lain dalam suatu tatanan kehidupan bermasyarakat.

Dalam berhubungan dan berinteraksi, sifat khas yang dimiliki seseorang dapat membuat dirinya menjadi lebih baik. Kegiatan mendidik merupakan salah satu sifat khas yang dimiliki oleh manusia. Imanuel Kant mengatakan, “manusia hanya dapat menjadi manusia karena pendidikan”. Jadi jika manusia tidak dididik maka ia tidak akan menjadi manusia dalam arti yang sebenarnya. Hal ini telah terkenal luas dan dibenarkan oleh hasil penelitian terhadap anak terlantar. Hal tersebut memberi penekanan bahwa pendidikan memberikan kontribusi bagi pembentukan pribadi seseorang.

Dengan demikian manusia sebagai makhluk sosial berarti bahwa disamping manusia hidup bersama demi memenuhi kebutuhan jasmaniah, manusia juga hidup bersama dalam memenuhi kebutuhan rohani.

2.3 Pengembangan manusia sebagai makhluk Susila

Aspek kehidupan susila adalah aspek ketiga setelah aspek individu dan sosial. Manusia dapat menetapkan tingkah laku yang baik dan yang buruk dengan  menghayati dan menerapkan norma-norma atau nilai-nilai hidup dalam kehidupannya.

Dalam proses antar hubungan dan antaraksi itu, tiap-tiap pribadi membawa identitas dan kepribadian masing-masing. Oleh karena itu, keadaan yang yang cukup bermacam-macam akan terjadi berbagai konsekuensi tindakan-tindakan masing-masing pribadi.  Kehidupan manusia yang tidak dapat lepas dari orang lain, membuat orang harus memiliki aturan-aturan norma. Aturan-aturan tersebut dibuat untuk menjadikan manusia menjadi lebih beradab. Manusia akan lebih menghargai nilai-nilai moral yang akan membawa mereka menjadi lebih baik.

Selain aturan-aturan norma, manusia memerlukan pendidikan yang dapat digunakan sebagai sarana mencapai kemakmuran dan kenyamanan hidup. Pendidikan dapat menjadikan manusia seutuhnya. Dengan pendidikan, manusia dapat mengerti dan memahami makna hidup dan penerapannya.                Melalui pendidikan  mampu menciptakan manusia yang bersusila, karena hanya dengan pendidikan kita dapat memanusiakan manusia. Melalui pendidikan pula manusia dapat menjadi lebih baik daripada keadaan sebelumnya. Dengan pendidikan ini, manusia juga dapat melaksanakan dengan baik norma-norma yang ada dalam suatu masyarakat. Manusia akan mematuhi norma-norma yang ada dalam masyarakat jika diberikan pendidikan yang tepat.

Dengan demikian, kelangsungan kehidupan masyarakat tersebut sangat tergantung pada tepat tidaknya suatu pendidikan mendidik seorang manusia mentaati norma, nilai dan kaidah masyarakat. Jika tidak maka manusia akan melakukan penyimpangan terhadap norma-norma yang telah disepakati bersama oleh masyarakat.

 

2.4 Pengembangan Manusia Sebagai Mahluk Religius

Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Kuasa di muka bumi ini sebagai makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk lain. Melalui kesempurnaannya itu manusia bisa berpikir, bertindak, berusaha, dan bisa menentukan mana yang benar dan baik. Di sisi lain, manusia meyakini bahwa dia memiliki keterbatasan dan kekurangan. Mereka yakin ada kekuatan lain, yaitu Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta. Oleh sebab itu, sudah menjadi fitrah manusia jika manusia mempercayai adanya Sang Maha Pencipta yang mengatur seluruh sistem kehidupan di muka bumi.

Dalam kehidupannya, manusia tidak bisa meninggalkan unsur Ketuhanan. Manusia selalu ingin mencari sesuatu yang sempurna. Dan sesuatu yang sempurna tersebut adalah Tuhan. Hal itu merupakan fitrah manusia yang diciptakan dengan tujuan untuk beribadah kepada Tuhannya.

Oleh karena fitrah manusia yang diciptakan dengan tujuan beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa, untuk beribadah kepada Tuhan pun diperlukan suatu ilmu. Ilmu tersebut diperoleh melalui pendidikan. Dengan pendidikan, manusia dapat mengenal siapa Tuhannya. Dengan pendidikan pula manusia dapat mengerti bagaimana cara beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Melalui sebuah pendidikan yang tepat, manusia akan menjadi makhluk yang dapat mengerti bagaimana seharusnya yang dilakukan sebagai seorang makhluk Tuhan. Manusia dapat mengembangkan pola pikirnya untuk dapat mempelajari tanda-tanda kebesaran Tuhan baik yang tersirat ataupu dengan jelas tersurat dalam lingkungan sehari-hari.

Maka dari keseluruhan perkembangan itu menjadi lengkap dan utuh dalam setiap sisinya, baik dari sisi individu, sosial, susila, maupun religius. Keutuhan dari setiap sisi tersebut dapat menjadikan manusia menjadi makhluk yang lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan makhluk-makhluk Tuhan yang lain.

 

III. Pemikiran Filosofis KI HAJAR DEWANTARA tentang Pendidikan.

Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya tersebut ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak pendidik spiritual ke pendidik spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara.  Bagi Ki Hajar Dewantara, para pendidik hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figur keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai pendidik yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka pendidik sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.

Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Peserta didik. Merdeka baik secara fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama. Hal ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud pendirian Taman Peserta didik adalah membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional. Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan.  Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Sehingga hak setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan harga diri; setiap orang harus hidup sederhana dan pendidik hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya. Peserta didik yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem pamong yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love).  Yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang.  Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara pepatah ini sangat tepat yaitu “educate the head, the heart, and the hand.

IV. Pembelajaran humanisme

Sistem pendidikan hendaknya berpusat pada peserta didik, artinya kurikulum, administrasi, kegiatan ekstrakurikuler maupun kokurikulernya, sistem pengelolaannya harus dirumuskan dan dilaksanakan demi kepentingan peserta didik, bukan demi kepentingan pendidik, sekolah atau lembaga lain. Pendidikan yang hanya memusatkan pada kepentingan kebutuhan kerja secara sempit harus dikembalikan kepada kepentingan pertumbuhan dan perkembangan kepribadian peserta didik secara utuh. Seperti kemampuan bernalar, berpikir aktif-positif, kreatif, menemukan alternatif dan prosesnya menjadi pribadi yang utuh (process of becoming). Peserta didik hendaknya benar-benar dikembalikan sebagai subyek (dan juga obyek) pendidikan dan bukannya obyek semata-mata.

Kemajuan iptek dan mengglobalnya dunia informasi dan komunikasi sebenarnya membutuhkan pribadi-pribadi yang matang dan berwatak. Ternyata pendidikan di masa lampau lebih menekankan manusia menjadi cerdas logis matematis dan bahasa, namun tidak memiliki watak yang tangguh dan bermoral luhur. Dengkan demikian tercipta adanya pemberian otonomi pendidikan pada institusi pendidikan masing-masing untuk menentukan visi dan misinya dan melaksanakannya sehingga menghasilkan peserta didik yang selain cerdas, berkeahlian sekaligus berkepribadian tangguh.  Sehingga diperlukan tenaga-tenaga professional, karena membutuhkan kemampuan-kemampuan seorang pendidikan sebagai “Artist, scientist, and technologist.”
Semakin kompleksnya pelaksanaan pendidikan pada masa akan datang, perlunya pimpinan institusi pendidikan memiliki sikap kepemimpinan sekolah (school leadership) dan keterampilan mengelola pendidikan (educational management). Seorang pimpinan perlu mendapatkan training secara menyeluruh tentang mutu kepribadian, kepemimpinan sekolah dan pengelolaan pendidikan. Sistem kepemimpinan yang partisipatif, delegatif, terbuka dan selalu melihat ke depan tanpa melupakan evaluasi sangat dibutuhkan saat ini.  Strategi yang digunakan adalah optimalisasi semua komponen sekolah,  seperti kesiapan peserta didik, motivasi dan usaha keras sekolah, dukungan keluarga dan masyarakat (stake holder).  Jika sarana, peserta didik, dan lingkungan optimal, ditambah dengan proses belajar mengajar yang efektif, dinamis dan berkualitas, maka kualitas lulusan akan seperti yang diharapkan dalam visi dan misi serta jabarannya.
Di masa mendatang para pendidik diharapkan lebih bergairah dan terlatih untuk mengetahui potret dirinya di kelas. Penelitian tindakan kelas dilakukan agar dapat melihat potret dirinya selaku pendidik, pengajar, dan sebagai pribadi. Bagaimana penilaian peserta didik tentang para pendidiknya, sebagai pendidik, pengajar dan juga sebagai seorang pribadi.  Selain itu, pendidik harus ditunjang  untuk meningkatkan tingkat akademik dan profesionalitasnya (beban sosial ekonomi sering menjadi hambatan, maka peningkatan kesejahteraan perlu). Pendidik yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga relasi dan komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait); segi administrasi sebagai pendidik; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap professional itu meliputi antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan.  Oleh karena itu duperlukan juga membangun suatu etos kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani masyarakat. Dan didukung juga dengan performance/ penampilan seorang profesional: secara fisik, intelektual, relasi sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator. Artinya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang professional, produktif dan kolaboratif demi kedewasaan manusia secara utuh bagi setiap peserta didik.

Dalam pengelolaan kelas diperlukan juga perspektif  yang inovatif  dan baru. Pengelolaan kelas tidak sekedar pada hal-hal teknis atau menyangkut strategi belaka, namun lebih menyangkut faktor pribadi-pribadi peserta didik yang ada di kelas tersebut. Pengelolaan kelas tidak dapat dilepaskan dari aspek manusiawi dari pembelajaran dan pengajaran. Pengelolaan kelas yang ditekankan pada bagaimana mengelola pribadi-pribadi yang ada akan lebih menolong dan mendukung perkembangan pribadi, baik pribadi peserta didik maupun pribadi pendidiknya. Kelas yang dikelola dengan cara demikian, peserta didik tidak hanya akan berkembang intelektualtasnya saja, namun juga aspek aspek afektif, konatif, dan sosialitasnya. Sebab belajar ternyata tidak hanya terbatas pada aspek intelektual tetapi juga aspek perasaan, perhatian, keterampilan dan kreativitas. Proses belajar hanya efektif jika ada relasi dan komunikasi yang bermutu antara pendidik dan peserta didik dan peserta didik dengan peserta didik. Pendidik yang tidak menyampaikan kualitas dan makna hidupnya dalam setiap mata pelajaran yang diembannya kepada anak, tidak akan banyak berpengaruh pada perkembangan kepribadian anak. Kelas atau kegiatan belajar mengajar hendaknya menjadi suasana yang menggairahkan dan mengasyikkan untuk kegiatan eksplorasi diri dan menemukan identitas diri. Maka pengajaran secara integral mesti berkaitan dengan pendidikan nilai.

Pendidikan yang benar adalah suatu usaha pembinaan pribadi manusia untuk mencapai tujuan akhirnya (perilaku hubungan dengan Tuhan dan diri sendiri) dan sekaligus untuk kepentingan masyarakat (perilaku hubungan dengan diri sendiri, keluarga, masyarakat dan alam sekitarnya). Secara singkat dikatakan bahwa pendidikan nilai adalah suatu proses dimana seseorang menemukan maknanya sebagai pribadi pada saat dimana nilai-nilai tertentu memberikan arti pada jalan hidupnya. Proses ini menyangkut “perjalanan menuju ke kedalaman diri sendiri”, menyentuh bagian-bagian terdalam diri manusia, seperti daya refleksi, introspeksi, analisa dan kemampuan menemukan diri sendiri dan betapa besar harga dirinya. Pendidikan nilai menyangkut ranah daya cipta, rasa dan karsa, menyentuh seluruh pengalaman seseorang. Faktor-faktor penting dalam pengelolaan kelas yang pertama adalah faktor pendidiknya, kemudian faktor kedisiplinan, terus evaluasi atau penilaian bagi peserta didik.

Pendekatan pembelajaran humanis memandang manusia sebagai subyek yang bebas merdeka untuk menentukan arah hidupnya. Manusia bertanggungjawab penuh atas hidupnya sendiri dan juga atas hidup orang lain. Pendekatan yang lebih tepat digunakan dalam pembelajaran yang humanis adalah pendekatan dialogis, reflektif, dan ekspresif. Pendekatan dialogis mengajak peserta didik untuk berpikir bersama secara kritis dan kreatif. Pendidik tidak bertindak sebagai pendidik melainkan fasilitator dan partner dialog; pendekatan reflektif mengajak peserta didik untuk berdialog dengan dirinya sendiri; sedangkan pendekatan ekspresif mengajak peserta didik untuk mengekspresikan diri dengan segala potensinya (realisasi dan aktulisasi diri). Dengan demikian pendidik tidak mengambil alih tangungjawab, melainkan sekedar membantu dan mendampingi peserta didik dalam proses perkembangan diri, penentuan sikap dan pemilahan nilai-nilai yang akan diperjuangkannya.

Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengadakan pembaharuan pendidikan adalah perumusan dasar filosofi pendidikan, misi dan visi setiap unit kerja, strategi dan perencanaan untuk mencapai tujuan yang banyak membantu dan menjadi pedoman dalam pelaksanaan kegiatan sehari-hari. Tanpa itu semua, suatu lembaga pendidikan akan bekerja serampangan dan tidak tahu ukuran apa yang akan dipakai untuk mengukur keberhasilan dan kegagalan segala kegiatan yang ada. Warna sistem pendidikan dan pengelolaannya sangat tergantung dari dasar filosofi, visi dan misi yang dimiliki oleh suatu lembaga pendidikan. Pelaksanaan yang secara konsisten dan konsekuen akan dengan sendirinya membentuk identitas yang membedakan dengan lembaga sekolah lain. Hal-hal ini pula yang akan memberikan roh yang menjiwai dan menggerakkan semua pelaku pendidikan untuk mencapai tujuan yang optimal. Perlu pula dibangun suatu budaya pengelolaan keorganisasian yang jelas dan terinci sehingga semua dapat bekerja secara proaktif, mendahulukan yang utama, selalu melihat tujuan akhir, kooperatif, berpikir meang-menang, berusaha mengerti terlebih dahulu baru dimengerti dan meujudkan sinergi. Semua anggota komunitas pendidikan hendaknya bergerak dari ketergantungan melewati kemandirian menuju kesalingtergatungan.

Hal-hal yang akan dilakukan sebagai bahan pertimbangan dalam menunjang reformasi pendidikan adalah  sebagai berikut :

Ø peserta didik dijadikan subyek pendidikan dan pusat proses pembelajaran;

Ø teori aktivitas diri dan aktif-positif merupakan dasar dari proses pembelajaran;

Ø tujuan pendidikan dirumuskan berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik daripada tekanan pada penguasaan materi pelajaran;

Ø kurikulum pendidikan disusun dalam kerangka kegiatan bersama atau kegiatan yang bersifat “proyek”;

Ø perlunya secara rutin kontrol informal di kelas dan sosialisasi mengajar dan belajar atau kegiatan bersama di tengah-tengah arus deras individualisme;

Ø hendaknya banyak diterapkan keaktifan berpikir dan berargumentasi daripada sekedar menghafal atau mengingat-ingat saja;

Ø pendidikan hendaknya mengembangkan kreativitas peserta didik.

Oleh karena itu perlulah dipersiapkan pendidik yang fleksibel dalam profesinya. Lebih penting mengajarkan bagaimana belajar daripada apa yang dipelajari. Perlu dipertimbangkan juga kaitan antara bangunan sekolah, sistem pendidikan, pendidik dan tenaga kependidikan dalam melaksanakan tugas pembelajaran dan pendidikan. Pendidik harus menuntut dirinya untuk dapat menjadi figur teladan atau model bagi para peserta didik. Sistem kerja dari berdasar pada waktu ke penampilan mutu kerja. Pendidik dipersiapkan dan dilatih sehingga mampu berperan seperti di dalam keluarga. Pentingnya seorang pendidik belajar mendengarkan, berkomunikasi dan berelasi dengan seluruh anggota komunitas sekolah. Yang lebih penting lagi Pendidik harus selalu berusaha “memperhitungkan” peserta didik, dan mengkondisikan bahwa peserta didik itu penting. Menumbuhkan rasa percaya diri dan harga diri peserta didik.     Akhirnya kita perlu menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah menjadikan peserta didik sebagai manusia dewasa dari manusia muda. Pendidikan diharapkan menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, memilki nilai-nilai hidup, memiliki ketrampilan dan science, berguna dan berpengaruh di masyarakatnya,  bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain, berwatak luhur,  dan berkeahlian.

 

VIII. Penutup

Pembelajaran humanisme terselenggara di saat adanya kepercayaan  orang tua peserta didik menyerahkan pendidikan anaknya kepada institusi pendidikan, agar anaknya dididik  menjadi manusia dewasa dan menemukan dirinya sendiri secara utuh dan bermartabat kemanusiaan. Implikasi dalam pembelajaran humanisme adalah bahwa setiap individu merupakan titipan Tuhan, anak manusia adalah unik dan seharusnya tidak boleh diperlakukan secara seragam. Institusi pendidikan diharapkan dapat membantu peserta didik dalam proses menjadi dirinya sendiri, dalam berproses menjadi citra Tuhan (process of becoming oneself).

Perlunya untuk mengembangkan pembelajaran humanisme, yaitu mengembangkan pribadi peserta didik yang berorientasi pada   kebutuhan diri manusia agar peserta didik menjadi  semakin berbudaya dan berkembang menjadi manusia dewasa.

Daftar Pustaka :

  1. Handoko, Martin, Ph.D (1999) Pendidikan Humaniora Pada Milenium ke III (makalah)
  2. Maryanto, A., (1999), Otonomi Pendidikan Salah Satu Bentuk Implementasi Desentralisasi Pemerintahan (makalah)
  3. Riyanto, Theo., (Grasindo, 2002), Pembelajaran sebagai Proses Pembimbingan Pribadi.
  4. Suwariyanto, Theodorus, MA., (1998), The Educational Philosophy of Ki Hajar Dewantara: Naturalistic and Humanistic Education in Analitical Comparison, (Thesis), Manila, De la Salle University.
  5. Pendidikan Humanisme,http://www.bruderfic.or.id/h-60/pendidikan-yang-humanis.html